Rabu, 30 November 2016

Boleh Aku Iri

Sebuah ungkapan hati seorang Ibu yang menyaksikan para santri dari Ciamis yang berjalan menuju Jakarta, untuk membela Agamanya dari orang-orang yang menghina dan melecehkan Agama Islam.

Boleh aku iri?
Padamu yang berjalan kaki
dan mungkin masih berhari-hari lagi.

Boleh aku iri?
Padamu yang tak ragu
tinggalkan urusan dunia sementara waktu
berjalan beriringan berpadu

Boleh aku iri?
karena kalimat syahadat kita sama
karena kita menyembah Tuhan yang sama
tapi kau nampak begitu bersahaja
mengeja kalimat thayyibah penuh makna

Boleh aku iri?
Boleh kutitikkan air mata haru?
untukmu yang menginspirasi

Ingin kusambut dirimu
dengan senandung penduduk madinah
menyambut baginda nabi dari makkah
Thalaal badru alaina, min tsaniyatil wada'
Wajabassyukru alaina, ma da'aa lillahi daa'

- Dari tulisan FB Ibu Muktia Farid

Sebuah Kesaksian Jalan Kaki Santri Ciamis Mendunia

Sebuah Kesaksian Jalan Kaki Santri Ciamis


By: DenySuwarja

Tadinya tidak terpikirkan,ikut menjemput dan mengawal para peserta long march Ciamis-Jakarta di Malangbong.  Saat ada keperluan di Cibatu, pukul 15.40 WIB membaca  update info rombongan dari salah seorang peserta. Bahwa, rombongan sudah tiba di mesjid Agung Malangbong.  Tertarik dan panggilan hati, ingin memberi dukungan moril kepada mereka.


Via Sasakbeusi, menuju Malangbong.  Perasaan dan hati dibuat bangga dan sejuk. Betapa tidak, di sepanjang tepi jalan tampak masyarakat berkerumun  di setiap sudut.  Anak-anak, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-kakek, nenek-nenek semua bersiap menyambut, lengkap dengan makanan dan minuman bahkan buah-buahan.

Di Lewo, berhenti sejenak. Mendekati kerumunan itu dan memasang kamera kecil.  Saat ditanya mengapa mereka melakukan hal itu? Jawaban mereka:”Lillahita’ala, demi Allah, demi agama kami, demi  membela Al  Quran yang telah dinistakan”.

“Ini murni dari hamba Allah, bukan dari partai politik yang dituduhkan si penista! Kami tidak bisa ikut long march. Tapi, kami ingin mendukung mereka. Tukang tahu, menyumbang tahu. Tukang emplod, tukang tempe, tukang kerupuk, tukang roti, tukang bala-bala. Bapak lihat sendiri, ini di depan. Semua sumbangan sukarela. Ikhlas, gak ada yang membayar!”, jawab mereka.

Subhanallah. Bulu kuduk merinding, ada yang tersekat di tenggorokan.  Mereka rakyat biasa, begitu rela berkorban. Demi keyakinan dan keimanan mereka yang diinjak-injak dan dinistakan.  Mereka rela berkorban dan sudah berdiri di sana, lebih kurang 1,5 jam. Padahal rombongan long march, baru tiba di mesjid Agung Malangbong dan rehat dengan sholat magrib.  Perjalanan baru akan dilanjut bada sholat Magrib.

Tiba di mesjid Agung Malangbong, suasana seperti malam takbiran.  Setiap melewati kerumunan orang-orang gema takbir dan kepalan tangan terangkat selalu terucap. Tegas tanpa rasa ragu. Tampak beberapa ada yang makan nasi bungkus berdua, bahkan ada yang bertiga sambil duduk bersandar ke tembok.  Belakangan mendapat informasi dari koordinator konsumsi, bahwa makanan, snack, ari kemasan, obat-obatan lebih dari cukup sumbangan sukarela dari masyarakat yang terlewati rombongan. Yang kurang adalah  untuk nasi bungkus/box.  Untuk nasi bungkus/box sering mengalami keterlambatan karena langsung didrop dari pesantren di Ciamis!!!  Namun peserta tidak mengeluh, saat di Malangbong mendapatkan sumbangan 300 nasi bungkus dari masyarakat setempat. Mereka rela berbagi dengan teman-temannya! Subhanallah!

Untuk makanan kemasan seperti biskuit atau roti dan air kemasan lebih dari cukup. Bahkan, mobil feeding kewalahan untuk mengangkut semua itu. Alternatifnya koordinator konsumsi harus mendatangakan truk dump truck yang besar, untuk mengangkut semua konsumsi yang disediakan masyarakat sepanjang Ciamis-Malangbong. Pastinya akan terus bertambahan selama perjalanan ke Jakarta. Yang mengiris hatis diantara makanan kemasan tampak juga makanan tradisional seperti cuhcur, ali agreg, burayot, rangginang, emplod, ladu, bahkan air kopi panas yang dimasukan plastik ada di sana!  Yang pasti semua makanan tradisional tersebut diolah olah rakyat kebanyakan, rakyat miskin, rakyat yang tidak rela kitab sucinya dihina dan ingin membela dengan cara mereka.

Kumandang adzan magrib bergema! Wajah-wajah yang tidak bisa menyembunyikan rasa lelah tapi dengan sorot mata penuh semangat itu langsung mengambil air wudhu.  Tidak sampai 2 menit, kerumunan jemaah lebih dari 2000 orang tersebut (plus mukimin). Langsung berbanjar rapi. Tanpa harus berteriak-teriak ala polisi yang kemarin sempat melarang mereka PO bus agar tidak menyewakan bus kepada mereka. Mereka tertib rapih, merapatkan barisan menghadap kiblat, rapi makmum hanya sesaat setelah mendengar suara iqamat.

Selama sholat, tidak terasa mata basah. Alhamdulillah, bisa ikut berjamaah bersama mereka. Terasa atmosfer ghirah izzatul Islam yang kental. Khusu dan penuh kesyahduan. Setelah membaca salam, air mata makin basah saat para santri tersebut bersalaman sambil mencium tangan saya penuh hormat. Padahal saya tidak mengenal mereka. Mereka tidak mengenal saya. Akhlak mereka begitu santun, saat melewati orang yang lebih tua mereka berjalan membungkuk, merendahkan tubuhnya dengan posisi tangan lurus ke bawah menyentuh lutut.

Hujan turun gerimis saat meninggalkan mesjid Agung Limbangan, agar dapat mengambil gambar yang bagus.  Lebih kurang 6 km dari alun-alun Malangbong, berhenti di sebuah warung untuk menyantap mie sambil menunggu rombongan, buang air kecil dan ngopi. “Paling perkiraan memakan waktu satu jam dari Malangbong ke sini!” kata si Bapak pemilik warung. “Bapak yakin? Saya perkirakan paling 30 menit. Kan hanya 6 km!” bantah saya. Tapi, saya dan istri dibuat terpelongo belum lima belas menit duduk sambil menikmat mie rebus. Tiba-tiba dari arah timur mobil polisi yang mengawal sudah tiba. Polisi memberlakukan jalur satu arah.

Kendaraan dari arah Malangbong diminta menepi.
Tidak sampai lima menit kemudian, dalam guyuran hujan yang makin deras. Tampak rombongan muncul dari arah Malangbong! Hanya 20 menit! Mereka bertakbir, bersholawat menembus hujan dengan hanya berlapiskan jas hujan plastik keresek. Beriringan, sebagian ada yang berpegangan tangan, sebagian ada yang membawa tongkat. Sebagian ada yang menggandeng temannya. Tidak henti, mobil ambulan dan mobil evak yang mengikuti rombongan.

Memberikan pengarahan kepada para peserta yang sudah tidak kuat berjalan jangan memaksakan, silakan naik mobil  yang kedua lampu daruratnya menyala. Tapi yang minta dievak bisa dihitung dengan jari. Mayoritas mereka tetap berjalan, bahkan ada yang setengah berlari menembus hujan deras.

Menuju ke Warung Bandrek,Kersamanah di sepanjang jalan tampak masyarakat menyemut. Lebih heboh daripada tadi sore saat mereka menunggu rombongan.  Makanan dan minuman yang disediakan mereka makin banyak. Seorang nenek, berdiri di antara kerumunan masyarakat. Di tangannya tampak dia memegang sebungkus emplod (makanan khas lewo dari singkong). Seorang Bapak sibuk, menyeduh kopi panas di gelas plastik dan memberikan dengan penuh kasih sayang serta doa kepada setiap peserta yang melewatinya!

Suasana sangat Islami, tulus, ihlas dan ukhuwah Islamiyah.  Berkali-kali saya dan istri menyeka air mata saat menyaksikan mereka di sepanjang perjalanan.  Allahu Akbar!
Ya Allah, saksikanlah kami ridho Engkau menjadi Tuhan kami.  Kami ridho Islam menjadi agama kami. Kami ridho Nabi Muhammad S.A.W. menjadi Rosul kami, kami rela Al Quran menjadi kitab suci kami! Jauhkan kami dari orang-orang munafik, yang lebih ridho kaum kafir jadi pemimpinnya dan menyangkal kebenaran kalam-Mu.  Amiiin...